Beliau dilahirkan pada tanggal 24 Desember 1925, Ia adalah salah seorang deklarator berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa. Kendati dilahiran di daerah pesisir yang kebanyakan bertemperamen keras, tetapi tidak ada sifat keras pada diri mbah Muchit, bahkan sebaliknya penuh dengan kesabaran dan tawadlu’, bahkan terkesan sangat hormat kepada siapa saja yang bertamu kepadanya. Hal ini karena keilmuannya yang tinggi dan sudah banyak “makan garam” kehidupan.
Pada suatu kesempatan mbah Muchit mengatakan bahwa dirinya dipanggil kiai karena dia punya adik seorang kiai, yakni KH. Hasyim Muzadi pengasuh pesantren mahasiswa Al-Hikam Malang, yang juga ketua umum PBNU. Itulah sekilas gambaran Kiai Muchit, ibarat padi makin berisi makin merunduk.
Beliau pernah belajar di pesantren Tuban lalu melanjutkan belajar kepada Hadlratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari di pesantren Tebuireng Jombang. Di Tebuireng ia tidak hanya belajar agama saja, tapi juga belajar berorganisasi. Karena itu, pada tahun 1941, saat usia muda ia telah menjadi anggota NU. Selain itu, disana ia juga bertemu dengan beberapa santri terkenal dari daerah lain, diantaranya Ahmad Shidiq.
Untuk menerapkan pengetahuannya itu, maka setamat dari Tebuireng ia kembali ke kampung halamannya di Tuban dengan mendirikan Madrasah Salafiyah (1946). Walaupun sebagai guru ia juga tidak bertopang dagu, yapi ikut berjuang melawan penjajah, masuk ke Lasykar.
Ketika suasana kembali normal, pada tahun 1952 mbah Muchit mendirikan Sekolah Menengah Islam (SMI), selanjutnya pada tahun 1954 juga mendirikan Madrasah Muallimin Nahdlatul Ulama. Begitu juga ketika pada tahun 1961 mendapatkan tugas sebagai pegawai di IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta, maka digunakan kesempatan untuk mbelajar lagi dengan mengikuti kuliyah di Universitas Cokroaminoto. Di kota gudeg itulah rupanya ia menemukan ide-ide pembaharuan. Maka ketika ditugaskan di IAIN Malang tahun 1963 iapun sempat merintis SMP NU. Begitu juga ketika menjadi PD II di IAIN Sunan Ampel Jember ia juga mendirikan Madrasah Tsanawiyah. Di seluruh sekolahan yang dirintisnya itu ia bertindak sebagai kepala sekolah. Gerak hidup yang dinamis itu rupanya yang membuat ia tidak mendirikan pesantren secara fisik, sebab pesantren yang dibangunnya lebih luas, seluas komunitas NU.
Penugasan ke IAIN Sunan Ampel Jember rupanya sebuah beberuntungan tersendiri buatnya, sebab disana ia bertemu dengan sahabat seperguruannya yang mengasuh pesantren besar disana, yaitu KH. Achmad Shidiq. Dengan demikian ia menemukan partner diskusi yuang seimbang dan sekaligus guru yang bisa diteladani. Masa-masa itu yang semakin mematangkan pemikirannya, sehingga banyak lahir pemikiran keislaman yang ditulis.
Ketika sahabatnya itu menjadi Rais Am Syuriyah PBNU yang saat itu dituntut untuk membuat rumusan konseptual mnengebnai Aswaja, menuntaskan hubungan Islam dengan negara dan mencari rumusan pembaruan pemikiran Islam, serta strategi pengembangan masyarakat NU, maka KH Achmad Shidiq semakin membutuhkan pikiran mbah Muchit. Karenanya ia diangkat sebagai sekretaris yang sekaligus penasehat pribadinya.
Dengan dibantu mbah Muchit, maka langkah Kiai Ahmad (panggilan KH Ahmad Shiddiq) mampu mengimbangi gerak pembaharuan yang dilakukan oleh Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wachid (Gus Dur), sehingga dalam waktu singkat NU menjadi organisasi yang sangat maju, dan berperan besar baik dalam bidang keagamaan, kemasyarakatan termasuk kenegaraan. Sukses duet Gus Dur dan Kiai Ahmad ini tidak bisa lepas dari pikiran kreatif mbah Muchit Muzadi yang menjaga “dapur” pemikiran Kiai Ahmad.
Kini ia memasuki usia yang ke 90 tahun. tapi walaupun begitu, semangatnya tidak pernah padam.semangat tokoh satu ini untuk terus berjuang bersama NU memang patut kita tiru. Sebagai sesepuh dan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Muchit Muzadi tak pernah lelah untuk memberikan semangat kepada generasi penerus. "Cintailah Kiai dan Rawatlah NU" mungkin itulah pesan indah dari Sang Kiai Muchit Muzadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar